Ujian Nasional tahun ini merupakan kali pertama kalinya saya ikut mengawas. Tahun ini saya mendapat bagian untuk mengawas di SMA PASUNDAN 2. 3 hari ujian … bersyukur semuanya boleh berjalan dengan baik. Lancar, tidak ada yang neko-neko.
Tapi … mendengar beberapa cerita sesama rekan guru lainnya yang mendapat bagian ngawas di sekolah lain, mereka memiliki cerita yang berbeda.
Ada sekolah yang murid-muridnya bener-bener “terbiasa” untuk bekerja sama saat ujian. Ditegur, dipelototin guru pun dengan tenangnya tetap tanya jawaban kiri-kanan. Kalau cuma 1-2 orang … mungkin tinggal dicatat diberita acara, paling ujian ngga lulus. Tapi kalau sampai 1 kelas “kerja sama” … mau bagaimana? Rasanya sebagai guru tidak sampai hati juga untuk melakukan itu. Mereka itu anak didik orang lain (pengawas Ujian Nasional adalah guru dari sekolah yang berbeda). Bagaimana jadinya kalau 1 kelas dinyatakan “gagal” karena nyontek. Bisa masuk TV tuh.
Yang lebih memprihatinkan lagi … adalah rekan guru yang kebagian mengawas di sekolah kecil di daerah pinggiran kota. Kelas 3 cuma 2 kelas, dandanan kumel, tampang preman. Tidak peduli soal ijazah SMA, datang ke sekolah cuma iseng. Nyontek, ditegur malah nantangin. 😦 Kata pihak sekolahnya juga bilang: “… biarin aja, dimaklum. Mereka mau dateng aja udah untung…” Yah … mau gimana lagi!
Berbagai pemberitaan dimedia tentang kebocoran soal Ujian Nasional, memang sangat disayangkan. Tapi, buat saya pribadi jauh lebih disayangkan lagi adalah keadaan mental remaja seperti diatas. Tidak peduli soal pendidikan, dimana sekolah cuma bagaikan kegiatan membosankan.
Jadi … mana yang lebih “parah”. Kebocoran soal atau siswa yang ngga berniat lulus?!?